Minggu, 18 Januari 2015

Goodbye, Max

3 tahun telah berlalu. Aku tetap berdiri di sini. Tempat yang sunyi dan semua penghuni di sini hidup secara individual. Perkenalkan aku Breonna Wyles. Aku adalah seorang aktris yang sukses sebelum kejadian itu terjadi. Ya, kejadian yang masih membayangi hidupku, selalu mengejar-ngejarku dimanapun dan kapanpun.

*flashback on*

When I see your face
There’s not a thing that I would take
‘Cause boy your amazing
Just the way you are

“siapa yang berani menganggu waktu istirahatku? Padahal ini sudah larut malam.” ucapku kesal.
“yak! Kau pikir kau siapa bisa menganggu waktu istira…” ucapanku terpotong saat terdengar suara yang familiar di telingaku.
“hey Bree. What’s up? Am I disturbing your rest time?” ucap Max.
“tunggu, apa aku tidak salah dengar? Ada angin apa dia menelefonku. Tumben sekali.” Batinku lalu melihat kembali nama yang tertera di layar handphone-ku.
“Bree? Kau masih di sana kan? Hello?” tanyanya.
“ah ya, aku di sini. Ada apa kau menelefonku larut malam seperti ini?” tanyaku to the point.
“aku perlu bicara denganmu sekarang. Bisakah kita bertemu di tempat biasa?” ajaknya.
“sepertinya tidak bisa. Aku sudah terlalu lelah karena jadwal hari ini. Tak bisakah lain waktu?” tanyaku lagi.
“tidak. Ini penting. Kalau begitu aku yang akan ke rumahmu. 20 menit lagi aku akan sampai di rumahmu.” Ucapnya seperti terburu-buru.

10 menit berlalu, Max tak kunjung datang. Aku menunggunya dengan perasaan gusar, aku merasakan ada yang tidak beres dengannya. Jika kalian bertanya siapa Max, aku akan menjawabnya. Dia adalah kekasihku. Seseorang yang selama ini selalu disampingku, menemaniku. Dia yang selalu mendukungku apapun yang terjadi, tetapi belakangan ini dia bersikap sedikit aneh. Max seperti menyembunyikan sesuatu. Selalu menghindar jika aku bertanya dan jawabannya selalu ‘tidak ada apa-apa. Tak perlu khawatir’.
Sudah 15 menit, 5 menit lagi dia akan sampai. Aku takut, tapi tak tau takut akan apa. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil minum. Setidaknya membuatku lebih baikkan.
17 menit berlalu. Tiba-tiba terdengar bel berbunyi.

Ting tong. Ting tong

Sang penekan bel tersebut seakan tidak sabar hingga menekannya berkali-kali. Aku pun membukakan pintu untuknya.

“hai, Bree.” Sapa Max dengan nafas tersengal-sengal.
“hai, Max. Apa yang terjadi? Kenapa kamu datang dengan nafas yang memburu?” tanyaku khawatir.
“aku perlu bicara. Di taman belakang rumahmu.” Ucapnya jelas.

Max memang bukan orang yang suka basa-basi dan gombal seperti lelaki di luar sana.

“ayo masuk. Kamu tunggu di belakang, aku akan membuatkanmu minuman.” Ucapku mempersilahkan.

Setelah membuatkan minum untuknya, aku langsung bergegas ke taman belakang. Aku melihat Max dari kejauhan. Max seperti orang kebingungan. Ah, tidak. Ini hanya perasaanku saja. ‘Calm down, Bree’

“silahkan diminum.” Ucapku sambil meletakkan minum di meja.
“terima kasih, Bree. Langsung saja ke intinya. Aku ingin kita mengakhiri semua ini. Hubungan ini. Kau dan aku. Aku sudah tidak merasakan perasaan yang dulu aku rasakan. Aku tidak mencintaimu lagi, Bree. Aku sudah mempunyai seseorang yang ku cinta. Dia Lilith. Aktris pendatang baru. Aku harap kamu bisa menerimanya. Terima kasih atas waktu yang kamu luangkan selama ini. Aku harap kamu bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari aku.” Ucap Max.

Reflek, aku pun menamparnya lalu meninggalkannya seorang diri.
Aku tak percaya Max mengakhiri hubungan kami begitu saja. Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk membangun suatu hubungan. Rintangan yang kami lewati, masa-masa indah saat kami bersama. Semuanya tak ternilai di mata Max karena seorang wanita. Malam ini, malam yang kelam untukku dan hujan pun seperti mengerti perasaanku, menemaniku yang bisa dibilang bernasib buruk.

*flashback off*

Hah, aku teringat kembali oleh kejadian menyakitkan itu. Aku tak pernah bisa melupakan Max sepenuhnya. Di saat aku hampir menemukan penggantinya selalu saja dia membayangi pikiranku. Aku membenci ini. 3 tahun ini aku sangat tersiksa. Menghilang dari dunia entertainment begitu saja dan mengasingkan diri.
Tibalah aku di sebuah café di pusat kota. Termenung dengan secangkir ice chocholate di depanku dengan harapan bisa menyurutkan rasa panas yang menjalar di hatiku.

‘dikabarkan Lilith, artis cantik dan berbakat ini akan melangsungkan janji suci mereka di bulan Oktober tahun ini dengan seorang pengusaha sukses, sebut saja Max. Kabar ini belum dipastikan kebenarannya karena belum ada kepastian dari kedua belah pihak. Kita tunggu saja berita selanjutnya’

Max? Dia akan menikah dengan Lilith? Oh lihatlah betapa buruknya nasibku hari ini. Aku akui mereka memang cocok, Max merupakan laki-laki yang sukses dengan usahanya sedangkan Lilith merupakan aktris yang cantik, baik dan juga multi-talented. Tak heran jika Max bisa menyukainya, tapi aku masih tidak rela melihat mereka. Segera aku meninggalkan café tersebut dan kembali pulang ke rumah.
Saat diperjalanan pulang, aku seperti melihat seseorang yang selama ini selalu aku rindukan. Ya, dia Max. Aku pun menghampirinya untuk memastikan.
“Max?” ucapku
“emm, Bree? Kau Bree kan? Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Ada yang ingin ku bicarakan, tapi tidak di sini.” Ucapnya. Lalu, dia mengajakku ke café yang sedikit tertutup.
“Bree, aku ingin memberi ini.” Ucapnya seraya memberikan secarik kertas bertuliskan ‘Max & Lilith’.
“aku harap kau akan hadir di pernikahanku.” Lanjutnya.
“emm ya” ucapku tak yakin.

Hening beberapa saat sehingga akhirnya aku memutuskan untuk bicara.

“ku rasa aku harus pulang. Terima kasih sudah mentraktirku. Semoga pernikahanmu berjalan lancar” ucapku berlalu pergi.
“hati-hati di jalan, Bree” ucapnya sedikit berteriak.

Aku berjalan dengan tergesa-gesa. Aku bahkan menabrak beberapa orang di perjalanan. Yang ada dipikiranku saat ini hanya membuang semua barang yang pernah diberikan Max. Tak ada lagi yang bisa diharapakan darinya.
Ku buka pintu rumahku. Aku langsung mencari barang pemberian Max yang ku simpan sejak lama. Sialnya, aku lupa tempatku menaruh benda-benda tersebut. Mulai dari foto, kalung, baju, dsb. Aku mengeluarkan semua benda-benda yang ada di dalam rumahku, melemparnya ke sembarang arah hingga aku menemukannya. Aku berhasil menemukannya. Ku tatap kotak tersebut. Ku buka isinya, melihatnya sebentar. Semakin lama aku melihat, semakin aku merasa sakit seperti dicabik-cabik.

Aku membuangnya ke tempat sampah lalu membakarnya. Mengubur semua kenangan. Memutuskan untuk benar-benar melupakan. Aku harus belajar membuka hati untuk orang lain. Goodbye, Max. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar